Detail Post

Mencari Apa?

   HUJAN deras. Aku berdiri menatap ke bawah. Pisau bedah ku genggam di tangan. Mata serasa bersalah setelah apa yang ku lakukan. Menatap, ku terus tatap. Tubuh seseorang yang terkapar tak bergerak. Hujan membasahi kepalaku. Menghentikan hujan hampir mustahil dilakukan, tapi mengapa aku melakukannya?

   Adalah Ketua Jurnalistik di depan ku. Penjelasan yang panjang jika ku utarakan. Aku menelan ludah. Bagaimana jika dia telah mati? Namun nyatanya, aku tak peduli. Penyesalan, benarkah itu yang ku alami saat ini? Jantungku berdetak lebih kencang daripada biasanya. Tapi, aku telah mendapatkan apa yang ku cari. Segera berbalik badan, tak peduli kepadanya.

   Jalan kecil dengan jantung beritme cepat sangatlah tidak enak. Langit gelap bukan tanda hati masam. Dari tadi aku diam—memandang wajahnya tak membuat diriku selera berbicara. Segera kembali ke ruangan Jurnalistik, mengambil barang-barang ku. Ku hidup kan, dan ku cari nomor teleponnya. Suara berdering kencang. “Bara, jemput aku di Sekolah, aku sudah selesai.” tanpa omong panjang langsung ku akhiri pembicaraan.

   Adalah Bara, seseorang yang kuat menurutku. Dia bahkan lebih kuat dari seorang anak kelas sepuluh ini. Umurnya dua koma lima kali lipat dari ku. Rasa hormatku padanya sungguh tinggi. Lima belas menit berlalu, hujan semakin menjadi-jadi. Gelap biasa menjadi gelap gulita. Apa memang hujan begini akhir-akhir ini? Tak tau, lebih baik aku segera berkemas-kemas.

   Lima belas menit lagi, Bara sudah datang tepat di depan gerbang Sekolah. Mendengar suara klakson mobil yang unik, segera aku bergegas. Berlari, tak mau aku kehujanan—walaupun sedari tadi aku kehujanan.

   “Sini Raka!” Dia melambai-lambai tangannya saat melihat diriku berlari. Segera aku masuk ke dalam mobil. Mobil berjalan dengan dikendarai oleh Bara.

   “Bagaimana? Mulus kah misi tadi?” Wajahku terlipat. Sebenarnya tak mau aku menjawab pertanyaan darinya. “Buruk sekali, Bara. Terlibat perkelahian bukan skenario yang aku inginkan.” Aku menatap keluar jendela mobil.

   “Perkelahian? Dengan siapa?”

   “Ketua Jurnalistik.”

   Bara menepuk dahinya. Satu tangannya tetap berada di kemudi mobil. “Itu bahkan skenario terburuk. Kau sudah menghapus seluruh data dirimu?” Tanya Bara. Aku mengangguk. Bara melihatku dari kaca mobil kecil yang ada di atasnya.

   Wajahnya tampak lega. “Itu solusi baik. Walaupun kau memakai data palsu, setidaknya mereka berhenti mencari dirimu.” Aku menghela nafas. Tentu saja, takkan ku tinggalkan satu pun data tentang diriku—walaupun itu palsu. Karena itu bisa saja mencelakai diriku sendiri.

   “Bara, tidakkah yang kulakukan ini menjadi sesuatu yang berguna suatu saat nanti?” Bara menatapku lewat kaca kecil diatasnya.

   “Eh, kenapa kau bertanya begitu?” Wajah Bara seperti ingin tahu apa yang aku pertanyakan.

   “Ini kan misi pertama dariku. Jelas, jika ada misi pasti ada kegunaan. Seperti misi mendapatkan besi, entah seperti apa besi itu akan diolah, tapi ambil saja contoh pedang. Itulah kegunaannya.” Matanya menghadap ke atas, seperti sedang berpikir.

   “Entahlah, coba kau tanyakan saja pada Tuan Besar. Aku hanya membimbing dirimu melakukan misi darinya.” Jawab Bara tidak tahu. Jelas sekali aku tahu bahwa dia akan bilang begitu. Walaupun dia kuat, pikirannya agak sedikit turun. Entah ini bawaan dari lahir atau memang kurang ilmu saja.

   Semuanya, pasti ada awalan. Sebulan yang lalu, aku datang di Sekolah ini, ditemani dengan Bara. “Apakah Anda adalah Orang tua dari anak ini?” Tanya karyawan Sekolah. Bara mengangguk mantap. Mukanya juga seperti mempunyai anak. Dengan balasan senyum, karyawan Sekolah itu menulis data-data penting diriku yang sebenarnya adalah palsu. Tentu, aku diberi misi oleh Tuan Besar untuk mencari sesuatu. Sesuatu yang penting bagi Tuan Besar.

   Aku hanya menatap sekitar, berpura-pura seperti anak biasa yang tak pernah mengunjungi Sekolah itu. Memang faktanya, belum pernah aku pergi ke Sekolah ini. Banyak siswa-siswa yang bermain basket di Lapangan dekat ruangan ini. Dilihat oleh para siswa-siswi lainnya. “Ayo Kak Alex!” Banyak sekali teriakan dari siswi-siswi. Sepertinya dia siswa yang hebat. Ku amati, pergerakannya lincah dan cepat. Dia maju menembus lawan yang mencoba menghadang. Mendribel bola basket dengan bergerak cepat bukanlah hal yang mudah. Dia sampai depan ring dan melompat. Berhasil mencetak skor. Skornya, 20-2, tak manusiawi sekali. Lawannya tak diberi kesempatan untuk bermain.

   Bara menyenggol bahu ku. Aku menatapnya. “Pendaftaran selesai, saatnya pulang.” Hah? Bukannya boleh langsung Sekolah ya? Aku kebingungan. “Bara, apa harus pulang dulu? Bukannya bisa sekarang?” Tanyaku, aku benar-benar kebingungan. “Katanya begitu, makanya jangan liat-liat yang lain.” Aku menurut.

   Kami kembali ke mobil lalu pulang ke rumah. Alih-alih rumah malah ini seperti Mansion. Besar sekali, benar-benar bisa disebut sebagai Tuan Besar. Kami masuk, berbicara kecil tentang hal yang tak ada kaitannya. Berjalan, menuju ke ruangan Tuan Besar. Bara mengetuk pintu. “Masuk!” Suara dari dalam. Tuan Besar yang berbicara. Nada suaranya cuek, seakan tak mau diganggu oleh siapapun.

   Bara membuka pintu, lalu kami masuk. Adalah Tuan Besar, dia yang memiliki kekuasaan tinggi di rumah ini. “Bagaimana Bara, apakah Sekolah itu menyetujuinya?” Tanya Tuan Besar, jelas dia tak mau basa-basi. Aku melihat setumpuk kertas, banyak sekali. Buku-buku di rak, sofa, dan beberapa keperluan lainnya yang dibutuhkan Tuan Besar. Tapi kurasa, semuanya itu tak dibutuhkan oleh Tuan Besar. Tuan Besar penuh dengan teka-teki. Tuan besar (ayahnya Tuan Besar sekarang), pernah bilang pada Bara saat dia masih kelas sepuluh. “Penerus rumah ini akan sedikit kurang berkenan dengan kata komunikasi.” Bara sempat berkata demikian saat pertama kali bertemu denganku.

   “Mantap sekali, Tuan Besar.” Bara menyeringai. “Hentikan ekspresi wajah seperti itu, Bara.” Tuan Besar terlihat marah. “Baiklah,” Bara menjadi tersenyum ramah. Apa sih yang sebenarnya orang ini mau? Benar-benar tak habis pikir diriku tentang Bara.

   “Raka diterima di Sekolah itu. Tak ada perlawanan.” Wajah Tuan Besar masih cuek. “Terima kasih untuk tidak menyia-nyiakan waktuku untuk membahas ini.” Sejak tadi, Tuan besar menulis-nulis sesuatu di kertas. Seperti hal yang penting.

   Wajahku tertatap pada mereka berdua. Muka datar tanpa ekspresi berlebihan, itu mungkin yang disukai oleh Tuan Besar. Tuan Besar menaruh kertas itu. Posisinya duduk tegak.

   Situasi menjadi serius. “Akan kuberi tahu apa yang harus kau lakukan, Raka. Pertama kau ambil data seorang siswi, namanya Friz Jasmine, anak dari lawan kita, Us Company. Kedua, terserah apa yang mau kau lakukan asal tidak mengganggu proses berjalannya misi ini.” Sungguh, itu singkat sekali.

   Aku mengangguk. “Bagus.” Tuan Besar meraih kertas. “Lakukan dalam waktu sebulan, atau aku yang akan melakukannya sendiri.” Kenapa harus sebulan? Aku melihat Bara. Bara menggeleng, dia tak tahu. Aku ingin menanyakan ini, tapi ku urungkan niatku.

   “Sudah selesai, tolong pergi dari ruangan ku.” Kami keluar dari ruangan Tuan Besar. Aku menghela nafas. Pertemuan kedua ku secara “Pribadi” dengan Tuan Besar. Wajah Bara bingung.

   “Kenapa Bara?” Tanyaku.

   “Ini aneh sekali. Kenapa Tuan Besar membuat misi yang tenggat waktunya sebulan? Sebelumnya tak pernah.”

   Aku hanya diam. Aku baru masuk ke rumah ini beberapa minggu lalu. “Sebaiknya, kau tidak gagalkan misi pertama mu ini. Jika tidak, maka kemungkinan terbesarnya adalah kau dikeluarkan dari rumah ini.” Aku menelan ludah. Gemetar seketika aku mendengar ucapan Bara.

   “Itu konsekuensinya, Raka. Ada beberapa misi sulit yang tidak bisa dilakukan, akhirnya kehabisan waktu dan mereka terpaksa dikeluarkan.” Aku masih belum yakin. “Dikeluarkan?” Bara mengangguk. “Dari dunia.” Nafasku tertahan. Jika begitu, maka aku akan mati. Itu bukan yang aku inginkan.

   “Akan ku cari data itu.” Mantap aku berbicara. Bara menatapku. “Kenapa Bara? Ada hal yang salah dari kata yang keluar dari mulutku?” Tanyaku memastikan. Bara menggeleng. “Tidak, Raka. Kau harus mencari itu.” Aku tersenyum.

 

Bersambung.....